Lebih
dari 900 ahli primata dan pakar konservasi yang berkumpul di Hanoi,
Vietnam dalam rangka kongres ke-25 International Primatological Society,
membahas antara lain urgensi bagi konservasi orangutan sumatra.
Sejumlah topik mengemuka pada forum ini—berkaitan dengan konservasi primata baik di Asia, Afrika, maupun Amerika.
Sementara itu, Indonesia tercatat sebagai negara yang penting dalam hal primata, dengan memiliki 59 spesies dan 77 taksa (istilah untuk tipe primata, yaitu spesies dan subspesies); dan 35 spesies (58 taksa) di antaranya menjadi endemik Indonesia, tak dapat ditemukan di tempat lain dunia.
Namun, kekhawatiran pun disuarakan. Bagaimana pun, kenyataannya dalam daftar merah atau Red List of Threatened Species IUCN, saat ini 53 taksa, atau 68,8 persen, primata Indonesia berada dalam ancaman kepunahan.
"Perhatian khusus beberapa kali dinyatakan mengenai nasib orangutan sumatra (Pongo abelii), suatu spesies yang berbeda dan terpisah dari kerabatnya: orangutan borneo (Pongo pygmaeus)," kata Dr. Ian Singleton, direktur konservasi di Sumatran Orangutan Conservation Programme (SOCP) dalam siaran pers, Minggu (17/8). Ia menyatakan pula, masalah tingkat kelangsungan hidup spesies yang secara intrinsik berhubungan dengan keberadaan kawasan konservasi Leuser — di mana 85 persen orangutan sumatra yang masih tersisa itu ditemukan.
Ekosistem Leuser merupakan Kawasan Strategis Nasional (KSN) yang penetapannya melalui UU No.26/2008, mengarah sebagai perlindungan keanekaragaman hayati lingkungan hidup, tetapi peraturan daerah tata ruang Provinsi Aceh yang disahkan per tanggal 12 Februari 2014, mengabaikan status Leuser ini. (Lebih lanjut baca di sini)
"Kami risau sekali dengan situasi ini," kata Singleton. "Perkembangan baru jelas menunjukkan bahwa Pemerintah Aceh sengaja menghancurkan ekosistem Leuser akan membahayakan orangutan sumatra juga megafauna ikonik lain, seperti badak, gajah, dan harimau," tambahnya.
(Lihat: Leuser Masuk Daftar Tempat Paling Tak Tergantikan di Dunia)
Selain keprihatianan akan masa depan spesies di Leuser, ada pula diskusi hasil penelitian terbaru soal genom dari populasi liar orangutan sumatra. Khususnya, ke selatan, yakni populasi orangutan pada wilayah Batang Toru, Tapanuli. Orangutan itu terbilang secara genetik sangat berbeda dari orangutan sumatra di Sumut dan Aceh, sehingga kemungkinan dapat digolongkan sebagai spesies khas dan unik.
Dr. Michael Krützen dari Universitas Zurich menjelaskan bahwa penemuan mereka berimplikasi pada sebuah saran: kebutuhan mendesak status konservasi khusus untuk Batang Toru. "[Sebab] dari sudut pandang genetika, kita melihat perbedaan-perbedaan mencolok ini populasi Batang Toru dibandingkan dengan populasi orangutan sumatra lainnya yang terletak lebih di sebelah utara," paparnya.
Dr. Singleton mengutarakan, "Upaya-upaya untuk mencapai status perlindungan khusus bagi hutan primer yang menjadi tempat tinggal populasi [orangutan] di Tapanuli, Sumut ini sudah berjalan hampir satu dekade. Namun, persetujuan final dari Menteri Kehutanan Indonesia masih diperlukan."
(Editor: Gloria Samantha)
Sejumlah topik mengemuka pada forum ini—berkaitan dengan konservasi primata baik di Asia, Afrika, maupun Amerika.
Sementara itu, Indonesia tercatat sebagai negara yang penting dalam hal primata, dengan memiliki 59 spesies dan 77 taksa (istilah untuk tipe primata, yaitu spesies dan subspesies); dan 35 spesies (58 taksa) di antaranya menjadi endemik Indonesia, tak dapat ditemukan di tempat lain dunia.
Namun, kekhawatiran pun disuarakan. Bagaimana pun, kenyataannya dalam daftar merah atau Red List of Threatened Species IUCN, saat ini 53 taksa, atau 68,8 persen, primata Indonesia berada dalam ancaman kepunahan.
"Perhatian khusus beberapa kali dinyatakan mengenai nasib orangutan sumatra (Pongo abelii), suatu spesies yang berbeda dan terpisah dari kerabatnya: orangutan borneo (Pongo pygmaeus)," kata Dr. Ian Singleton, direktur konservasi di Sumatran Orangutan Conservation Programme (SOCP) dalam siaran pers, Minggu (17/8). Ia menyatakan pula, masalah tingkat kelangsungan hidup spesies yang secara intrinsik berhubungan dengan keberadaan kawasan konservasi Leuser — di mana 85 persen orangutan sumatra yang masih tersisa itu ditemukan.
Ekosistem Leuser merupakan Kawasan Strategis Nasional (KSN) yang penetapannya melalui UU No.26/2008, mengarah sebagai perlindungan keanekaragaman hayati lingkungan hidup, tetapi peraturan daerah tata ruang Provinsi Aceh yang disahkan per tanggal 12 Februari 2014, mengabaikan status Leuser ini. (Lebih lanjut baca di sini)
"Kami risau sekali dengan situasi ini," kata Singleton. "Perkembangan baru jelas menunjukkan bahwa Pemerintah Aceh sengaja menghancurkan ekosistem Leuser akan membahayakan orangutan sumatra juga megafauna ikonik lain, seperti badak, gajah, dan harimau," tambahnya.
(Lihat: Leuser Masuk Daftar Tempat Paling Tak Tergantikan di Dunia)
Selain keprihatianan akan masa depan spesies di Leuser, ada pula diskusi hasil penelitian terbaru soal genom dari populasi liar orangutan sumatra. Khususnya, ke selatan, yakni populasi orangutan pada wilayah Batang Toru, Tapanuli. Orangutan itu terbilang secara genetik sangat berbeda dari orangutan sumatra di Sumut dan Aceh, sehingga kemungkinan dapat digolongkan sebagai spesies khas dan unik.
Dr. Michael Krützen dari Universitas Zurich menjelaskan bahwa penemuan mereka berimplikasi pada sebuah saran: kebutuhan mendesak status konservasi khusus untuk Batang Toru. "[Sebab] dari sudut pandang genetika, kita melihat perbedaan-perbedaan mencolok ini populasi Batang Toru dibandingkan dengan populasi orangutan sumatra lainnya yang terletak lebih di sebelah utara," paparnya.
Dr. Singleton mengutarakan, "Upaya-upaya untuk mencapai status perlindungan khusus bagi hutan primer yang menjadi tempat tinggal populasi [orangutan] di Tapanuli, Sumut ini sudah berjalan hampir satu dekade. Namun, persetujuan final dari Menteri Kehutanan Indonesia masih diperlukan."
(Editor: Gloria Samantha)