Minggu, 04 Januari 2015

| | 0 comments | Read More

Konservasi Orangutan Sumatra Kian Mendesak

Lebih dari 900 ahli primata dan pakar konservasi yang berkumpul di Hanoi, Vietnam dalam rangka kongres ke-25 International Primatological Society, membahas antara lain urgensi bagi konservasi orangutan sumatra.
Sejumlah topik mengemuka pada forum ini—berkaitan dengan konservasi primata baik di Asia, Afrika, maupun Amerika.

Sementara itu, Indonesia tercatat sebagai negara yang penting dalam hal primata, dengan memiliki 59 spesies dan 77 taksa (istilah untuk tipe primata, yaitu spesies dan subspesies); dan 35 spesies (58 taksa) di antaranya menjadi endemik Indonesia, tak dapat ditemukan di tempat lain dunia.

Namun, kekhawatiran pun disuarakan. Bagaimana pun, kenyataannya dalam daftar merah atau Red List of Threatened Species IUCN, saat ini 53 taksa, atau 68,8 persen, primata Indonesia berada dalam ancaman kepunahan.

"Perhatian khusus beberapa kali dinyatakan mengenai nasib orangutan sumatra (Pongo abelii), suatu spesies yang berbeda dan terpisah dari kerabatnya: orangutan borneo (Pongo pygmaeus)," kata Dr. Ian Singleton, direktur konservasi di Sumatran Orangutan Conservation Programme (SOCP) dalam siaran pers, Minggu (17/8). Ia menyatakan pula, masalah tingkat kelangsungan hidup spesies yang secara intrinsik berhubungan dengan keberadaan kawasan konservasi Leuser — di mana 85 persen orangutan sumatra yang masih tersisa itu ditemukan.

Ekosistem Leuser merupakan Kawasan Strategis Nasional (KSN) yang penetapannya melalui UU No.26/2008, mengarah sebagai perlindungan keanekaragaman hayati lingkungan hidup, tetapi peraturan daerah tata ruang Provinsi Aceh yang disahkan per tanggal 12 Februari 2014, mengabaikan status Leuser ini. (Lebih lanjut baca di sini)

"Kami risau sekali dengan situasi ini," kata Singleton. "Perkembangan baru jelas menunjukkan bahwa Pemerintah Aceh sengaja menghancurkan ekosistem Leuser akan membahayakan orangutan sumatra juga megafauna ikonik lain, seperti badak, gajah, dan harimau," tambahnya.

(Lihat: Leuser Masuk Daftar Tempat Paling Tak Tergantikan di Dunia)

Selain keprihatianan akan masa depan spesies di Leuser, ada pula diskusi hasil penelitian terbaru soal genom dari populasi liar orangutan sumatra. Khususnya, ke selatan, yakni populasi orangutan pada wilayah Batang Toru, Tapanuli. Orangutan itu terbilang secara genetik sangat berbeda dari orangutan sumatra di Sumut dan Aceh, sehingga kemungkinan dapat digolongkan sebagai spesies khas dan unik.

Dr. Michael Krützen dari Universitas Zurich menjelaskan bahwa penemuan mereka berimplikasi pada sebuah saran: kebutuhan mendesak status konservasi khusus untuk Batang Toru. "[Sebab] dari sudut pandang genetika, kita melihat perbedaan-perbedaan mencolok ini populasi Batang Toru dibandingkan dengan populasi orangutan sumatra lainnya yang terletak lebih di sebelah utara," paparnya.

Dr. Singleton mengutarakan, "Upaya-upaya untuk mencapai status perlindungan khusus bagi hutan primer yang menjadi tempat tinggal populasi [orangutan] di Tapanuli, Sumut ini sudah berjalan hampir satu dekade. Namun, persetujuan final dari Menteri Kehutanan Indonesia masih diperlukan."

(Editor: Gloria Samantha)

Rabu, 23 Oktober 2013

| | 0 comments | Read More

Indonesia Military Courts handle the Wildlife



Two members of the military officers who served in Central Aceh became defendant’s alleged possession of protected wildlife laws. The defendant has the initials JR mentioned Tiger and Bears and the defendant has the initials R Tigers .
They are currently on trial in the Supreme Military / Aceh Military Court . Acting as the Military Judge Advocate , Major Sus Saifuddin R for JR and Major Uj defendant Kuswara as trial counsel for defendant R. Military Hear both continued on Thursday ( 24/10 ) by presenting witnesses and evidence from both cases . Oditor Major Sus Saifuddin R delivered , protected wildlife are supposed to be a concern and shared responsibility in the effort to preserve and be learning for military members in particular and society in general .

Major Oditor Uj Kuswara asserted , multi-stakeholder synergy needed in the enforcement of Law No. 5 of 1990 on Conservation of Natural Resources and Ecosystems . While activists Orangutan Aceh , the trial judge is a gap in the enforcement of Law No. 5 1990.
The trial is a bright spot for wildlife protection in Aceh , and I hope that BKSDA Aceh, TNI dare imitate the seriousness of wildlife protection in Aceh . " I appreciate to  Aceh Military Court . In addition to this trial , there is no case that went to court -related violation of Law. 5 of 1990 , especially for actors outside of the military unit . Because  this important trial and hope the law enforcement indiscriminately , " said Ratno Sugito , Activists Forum Orangutan Aceh ( FORA ) . Many Cases According to him , there are many other cases that have not been riding trials and seemed to evaporate .

Such ownership Orangutans recently seized by BKSDA Aceh , not a single case that went to court .
As for the case of Orangutan the named “Pongky “and some time ago seized from police officers on duty at the Tamiang Police Station  and Orang named the “Manohara" were seized from corrupt civil servants , such as forgotten this case." I hope that law enforcement related to the preservation of wildlife indiscriminately , whoever the suspect , the legal process must run with hope of a deterrent effect and be an example for others , " he said .

According to the FORA , the past ten years there has been no associated file ownership of wildlife , especially orangutans into the realm of law , even if there is only one or two cases and strangely when viewed from the amount included in the Orangutan Quarantine in Sibolangit , 60 percent of perpetrators maintain it illegally from corrupt government employee ( rogue civil servants, military / police ) ." This trial is a bright spot for wildlife protection in Aceh and Aceh BKSDA I hope that dare imitate the seriousness of the military protection of wildlife , " he hoped Ratno Sugito said

| | 0 comments | Read More

Terlibat Kepemilikan Satwa Liar, Dua Oknum TNI Diadili

Banda Aceh, (Analisa). Dua oknum anggota TNI yang bertugas di Aceh Tengah  menjadi terdakwa terkait dugaan kepemilikan satwa liar yang dilindungi secara undang undang. Terdakwa berinisial JR disebutkan memiliki Harimau dan Beruang dan terdakwa berinisial R memiliki Harimau.
Mereka saat ini diadili di Mahkamah Militer/Pengadilan Militer Aceh. Bertindak selaku Oditur Militer, Mayor Sus Saifuddin R untuk terdakwa JR dan Mayor Uj Kuswara selaku Oditur Militer untuk terdakwa R. Sidangkan keduanya dilanjutkan pada Kamis (24/10) dengan menghadirkan saksi dan barang bukti dari kedua kasus tersebut.
Oditor Mayor Sus Saifuddin R menyampaikan, satwa yang dilindungi sudah semestinya menjadi perhatian dan tangung jawab bersama dalam upaya menjaga kelestarian dan menjadi pembelajaran bagi anggota TNI khususnya dan masyarakat umumnya.
Oditor Mayor Uj Kuswara menegaskan, dibutuhkan sinergisitas multi pihak dalam penegakan UU No.5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya. Sementara Aktivis Orangutan Aceh, menilai persidangan itu merupakan sebuah celah dalam penegakan UU No. 5 tahun 1990.
Persidangan ini menjadi titik terang perlindungan satwa di aceh, dan saya berharap agar BKSDA Aceh berani meniru keseriusan TNI dalam perlindungan satwa liar di Aceh.
“Saya mengapresiasi Makamah Militer/Pengadilan Militer Aceh. Selain persidangan ini, belum ada kasus yang masuk persidangan terkait pelanggaran UU No. 5 tahun 1990, terutama untuk pelaku di luar kesatuan TNI. Kerenanya persidangan ini penting dan berharap upaya penegakan UU ini tidak pandang bulu,” ujar Ratno Sugito, Aktivis Forum Orangutan Aceh (FORA).
Banyak Kasus
Menurutnya, masih banyak kasus lain yang belum naik persidangan dan seakan menguap begitu saja. 
Seperti kepemilikan Orangutan yang baru baru ini disita oleh BKSDA Aceh, belum ada satu kasus pun yang masuk persidangan.
Seperti untuk kasus Orangutan Pongky beberapa waktu lalu disita dari oknum polisi yang bertugas di Polres Aceh Tamiang dan Manohara yang disita dari oknum PNS, kasus ini seperti dilupakan.
“Saya berharap kalau penegakan hukum terkait upaya pelestarian satwa liar tidak pandang bulu, siapapun tersangkanya, maka proses hukum harus berjalan dengan harapan menimbulkan efek jera dan menjadi contoh bagi yang lainnya,” tegasnya.
Menurut catatan FORA, sepuluh tahun belakangan ini belum ada berkas terkait kepemilikan satwa liar terutama Orangutan yang masuk ke ranah hukum, kalau pun ada hanya satu-dua kasus dan anehnya bila dilihat dari jumlah Orangutan yang masuk dalam karantina di Sibolangit, 60 persen pelaku memelihara secara ilegal dari oknum aparatur negara (oknum PNS, TNI/Polri).
“Persidangan ini menjadi titik terang perlindungan satwa di Aceh dan saya berharap agar BKSDA Aceh berani meniru keseriusan TNI dalam perlindungan satwa liar,” harapnya. (mhd)

sumber:http://www.analisadaily.com/mobile/pages/news/57199/terlibat-kepemilikan-satwa-liar-dua-oknum-tni-diadili/

http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt526757279e566/aktivis-acungi-pengadilian-militer-tangani-satwa
__._,_.___
Reply via web post Reply to sender Reply to gro

Kamis, 23 Mei 2013

| | 0 comments | Read More

WILDLIFE POACHING RAMPANT IN ACEH


BANDA ACEH, May 22, 2013: The death of Jack, a Sumatran Orangutan (Pongo abelii) seized by the Natural Resources Conservation Agency (BKSDA) Aceh on Wednesday, May 6, 2013, reflects a crisis in animal poaching in the Province, and the failure of BKSDA to address it.
"We strongly deplore BKSDA's failure to protect wildlife in Aceh in line with its responsibility. Orangutans are an endangered species protected by Law No. 5 of 1990 on Conservation of Natural Resources and Ecosystems," said Badrul Irfan, head of Forum for Orangutans Aceh (FORA).

According to data from the Sumatran Orangutan Quarantine Centre in North Sumatra, between 2002 and April 2013 261 orangutans were dealt with by the Centre, after being seized from people holding them illegally – in addition to orangutans born in the Centre. Of those, 143 – more than half – came from Aceh and 118 from other Provinces.

"Of the 143 orangutans confiscated in Aceh, not a single case has been prosecuted. After the confiscation no attempt has been made at enforcement against the perpetrators. This is a key issue for FORA, and contributes to our view that BKSDA is not doing its job," said Ratno Sugito, Action Coordinator for FORA.

FORA's view is that BKSDA Aceh has acted to silence cases. There is a strong suspicion that this has occurred with many cases involving the trafficking of wildlife in Aceh. They include poaching of Sumatran elephants, trafficking of ivory, trade in Sumatran tigers, Sumatran rhino, rhino horn and Sumatran orangutans.

In response, FORA and other wildlife watchdogs in Aceh wrote a letter to the head of BKSDA Aceh dated January 4, 2012, asking for a meeting to discuss the scale of killing of protected species within its jurisdiction. But to date there has been no response to the letter.

It is time for BKSDA Aceh to catch and prosecute the perpetrators of illegal wildlife trade in Aceh. The Ministry of Forestry should also play a role through its Technical Management Unit. FORA demands that the Director General of the Department of Forest Protection and Nature Conservation fulfils its mandate to protect wildlife and habitats, and maintain the biological functions of natural resources.

We also appeal to the general public not to take part in the trade or possession of protected species.

About Forum for Orangutans Aceh

FORA consists of NGOs, businesses and academics in Aceh Province who document and oppose the destruction of wildlife habitats, especially of the Sumatran orangutan. Deforestation in Aceh, in particular driven by the large-scale oil palm plantation sector, has been a major contributor to the decline of Aceh's endangered species.
 
FORA also opposes mining activities in critical habitats. FORA carries out advocacy against trafficking and poaching of Sumatran orangutans in Aceh Province and at the national level. 
 
 
Tom Johnson
Forest Campaigner

 

Translate

Laman